09 September 2023

Nasihat Shofar 1445H - Ulama Itu Ilmuwan Yang Takut Kepada Alloh Ta'ala

BismilLah.


Catatan kajian QS. Thoha 114 bersama Imaamul Muslimin: Ustadz Yakhsyallah Mansur pada ba'da Shubuh hari Sabtu 16 Shofar 1445H / 02 September 2023M di Masjid An-Nubuwwah, Dusun Muhajirun - Natar, Lampung sbb:

- Bahasan kali ini adalah terkait ilmu. RosululLoh shollalLohu 'alayhi wa sallam dalam mengajarkan ilmu ternyata tidak hanya gunakan 1 metode, tapi berbagai metode yang saling melengkapi. Dan metode yang paling sulit adalah : diskusi (hiwar). Mengapa? Ya karena guru yang akan mengajar harus punya persiapan. Kalau tidak ada persiapan atau guru sama saja ilmunya dengan murid, sudah bisa dipastikan nanti diskusinya macet atau ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Salah satu hadits terkait pengajaran dengan metode hiwar adalah hadits Khudzayfah ibnul Yaman, yang berkisah bahwa manusia banyak bertanya tentang kebaikan, sementara aku bertanya tentang keburukan,.. dst (HR. Bukhoriy 3606).

- Lalu pernahkan kita berpikir, mengapa gelar murid RosululLoh adalah shohabat, bukan istilah lainnya? Hal tersebut adalah dalam rangka persamaan derajat selaku manusia, sehingga para shohabat tidak merasa segan atau takut saat berdiskusi dengan beliau (para shohabat adalah kaum yang awal beriman dan berjuang bersama RosululLoh).

- Bila ditanyakan : sebenarnya ayat tersebut ditujukan kepada siapa, apakah orang yang sudah berilmu atau orang yang belum berilmu? Adanya perintah memohon tambahan ilmu kepada RosululLoh shollalLohu 'alayhi wa sallam mengisyaratkan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada orang yang sudah berilmu. Logikanya : bila orang yang sudah berilmu saja masih diperintah berdo'a untuk tambahan ilmu, maka apalagi orang yang belum berilmu, sudah tentu lebih ditekankan lagi untuk melakukannya.

- Melalui ayat 114 dalam surat Thoha, Alloh Ta'ala ajarkan kepada RosululLoh bagaimana lafazh (bunyi) do'a menuntut ilmu. Dalam beberapa hadits, memang ada tambahan lafazh namun intinya tetap sama dengan ayat tersebut. AlhamdulilLah kita mengamalkan do'a menuntut ilmu sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits (diantaranya ada dalam kitab Fadhli 'Ilmis Salaf 'Alal Kholaf li Imam Ibnu Rojab al-Hanbali).

- Merujuk pada kata 'ilman dalam ayat tersebut, menandakan bahwa ia adalah kata nakiroh, bukan ma'rifat, yang bermakna bahwa ia meliputi semua jenis ilmu, tidak hanya ilmu agama. Hari ini orang yang berilmu biasanya diukur dengan banyaknya titel yang disandang, tetapi Al-Quran menyatakan bahwa ahli ilmu itu, apapun bidangnya, diukur dari rasa takutnya kepada Alloh Ta'ala (QS. Fathir 28). Semakin berilmu seseorang, semestinya ia makin takut kepada Alloh Ta'ala.

- Metode hiwar yang dicontohkan oleh RosululLoh semestinya bisa ditumbuhkan di Pesantren sehingga para santri kritis atas ilmu yang mereka dapatkan, dan dengan demikian mereka bisa diharapkan menjadi ahli ilmu di masa depan. Yang terjadi pada umumnya, justru santri cenderung ikut saja apa kata guru atau kiai, bahkan pada saat ada peluang untuk bertanya, tidak ada santri yang berani mengacungkan jari. Ini kondisi pendidikan yang mencemaskan.

- Kondisi miris lainnya adalah ketika seseorang sudah merasa bertitel maka ia mulai malas mengikuti kajian ke-Islam-an. Para pemateri kajian ia ukur dulu dengan dirinya, bila tidak terkenal atau tidak bertitel maka ia tidak mau menghadiri kajian. Hal ini jelas menyalahi pengertian dari kata "ulama", yang mustinya terus belajar dan belajar, bahkan menimba ilmu kepada orang yang tidak masyhur bila diperlukan. Apa ada contohnya?

- Kita diingatkan oleh Alloh Ta'ala melalui kisah Nabi Musa dan seorang hamba Alloh yang sholih, tafsir al-Manar sengaja tidak menyebutkan nama karena demikianlah adanya, menurut sebagian ulama, ia bernama : Nabi Khidir. Ketika Nabi Musa 'alayhis salam melakukan sebuah kesalahan maka Alloh Ta'ala menghukum beliau dengan perintah agar belajar kepada seseorang yang tidak diketahui keberadaan-nya kecuali dengan adanya tanda. Orang yang ditunjuk sebagai guru itu ternyata tidak terkenal, bahkan dalam Al-Quran tidak disebut dengan jelas siapa namanya.

- Hal unik pun dilakukan oleh Nabi Musa, yang mengajak murid beliau, Yusya' bin Nun, untuk ber-sama-sama mencari guru tersebut. Biasanya bila seseorang dihukum, ia akan merasa malu, sehingga berusaha menyembunyikan hukuman itu dari orang lain. Hal ini seakan menunjukkan bahwa beliau memang sedang dihukum karena melakukan sebuah kesalahan, dan beliau berusaha bertawbat. 

- Sikap santun beliau tunjukkan saat bertemu Nabi Khidir dengan mengajukan idzin, "Bolehkah aku mengikutimu..." (QS. Al-Kahfi 66), padahal Nabi Musa adalah pemimpin Bani Isroil, kaum yang diutamakan atas segala ummat saat itu. Hal ini menunjukkan bagaimana adab belajar seorang murid kepada guru-nya, walaupun sang guru tidak terkenal. 

- Rangkaian kisah Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir menunjukkan bahwa Nabi Musa ternyata kurang shobar (QS. Al-Kahfi 78). Sementara dalam hadits, ternyata RosululLoh shollalLohu 'alayhi wa sallam menyatakan bahwa Nabi Musa adalah seorang Nabi yang sangat shobar, walaupun beliau telah disakiti oleh kaumnya lebih dari apa yang dialami oleh Nabi Muhammad pada Perang Hunayn (HR. Al Bukhoriy 3150). Terbayang di benak kita bagaimana tingginya keshobaran para Nabi, dengan idzin Alloh Ta'ala.

- Nah kisah Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir ini kadangkala juga dijadikan dasar pendidikan di pesantren supaya santri tidak banyak bertanya, padahal jauh sekali perbedaan kondisi diantara keduanya.

# Demikian catatan kami, semoga bermanfa'at dan mohon ma'af atas segala kekurangan yang ada

No comments:

Post a Comment

Sila tinggalkan komentar/pesan dg kalimat santun, sederhana dan jelas.